Home Bisnis & Wirausaha Inilah Pendapat Petani Desa Terhadap Kampus

Inilah Pendapat Petani Desa Terhadap Kampus

1724
SHARE
Suherman (Kiri) Nanang M.Yusuf (Kanan)

Orang desa tidak menyebut watak negatif kampus yang terpisah dari urusan kemasyarakatan dengan istilah “Menara Gading”. Tapi mereka sadar kebutuhan orang kampus harus laras dengan kebutuhan masyarakat, terutama di perdesaan. Suherman (60 tahun), seorang Mantan Kades dua periode dari Giri Mekar Kecamatan Cilengkrang memang tidak menguasai bahasa intelektual dalam bicara pembangunan desa. Cukuplah ia memaparkan dengan gaya bicaranya yang blak-blakan gaya wong ndeso terkait dengan peranan kampus. “Saya ini 16 tahun jadi kades. Ada banyak kebutuhan di masyarakat desa terkait ilmu pengetahuan. Sayangnya selama ini orang-orang pinter dari kampus jarang turun ke desa. Begitu turun uji coba tanam sayur dengan teori, gagal panen bangkrut 60 juta,” terangnya disambut rekan-rekan diskusinya.

Di luar diskusi dengan topik “implementasi UU Desa” dengan narasumber Indra Lubis (Tenaga Ahli Kementerian Desa dan Transmigrasi), Sabtu 22 Oktober 2016 di kampung Sekebalingbing, Desa Cikadut, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Suherman menceritakan tentang kisah dua orang pinter dari kampus yang mencoba budidaya sayuran.

Orang pinter yang dimaksud oleh Suherman tersebut adalah dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung. Kata Suherman, kedua insinyur pertanian itu mempraktikkan teori menanam sayur dengan pemupukan sesuai kadar yang dianjurkan teori. Suherman yang menyaksikan perilaku orang pinter itu mendiamkan model praktiknya yang memberi pupuk dengan kadar sekian CC, sementara menurutnya, untuk pertanian organik murni sudah tidak mungkin diterapkan karena kondisi tanah sudah rusak. “Kalau petani tanam sayur itu pupuknya bisa seember. Nah itu orang pinter cuma kasih pupuk cair beberata crit. Musim panen engkolnya segede bola kasti, sementara milik petani segede bola volley,” terang Suherman menggambarkan dengan ilustrasi.

Dengan cerita itu di satu sisi Suherman ingin menunjukkan bahwa teori ilmu pengetahuan tidak bisa diterapkan secara serampangan, melainkan harus sesuai kondisi dan pengalaman di lapangan. Petani sudah banyak pengalaman dengan kegagalannya. Karena itu petani punya pengetahuan lapangan bagaimana dalam urusan cocok tanam, termasuk urusan kopi. “Saya tidak meledek orang kampus. Kalau urusan nanam sayuran mah, petani sudah jago. Kami justru butuh orang kampus untuk turun misalnya membantu petani mengatasi hama, mengembangan teknologi, membantu urusan manajeman keuangan, koperasi, model tanaman baru yang berkembang di luar negeri dan bisa diterapkan di Indonesia dan lain sebagainya. Itu yang sangat dibutuhkan,” jelas mantan kades yang dikenal memiliki jiwa sosial ini.

Manfaat Dosen masuk Desa

Senada dengan Suherman, Nanang Muhammad Yusuf (53 tahun), Ketua Kelompok Tani Pondok Buahbatu, Desa Mekarmanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung juga merasa soal budidaya yang sudah dijalankan para petani relatif berjalan baik. Problem pertanian yang paling menonjol menurutnya saat berhadapan dengan pasar yang tidak pernah mau mengerti hubungan modal tanam, panjang produksi pertanian dan harga.

Simak Juga:  Harga jagung terjun bebas, Sebebas apa ?

Petani di Pondok Buahbatu menurut Nanang bisa tanam sayur bagus, namun begitu musim panen hancur harga sampai-sampai petani malas menjual karena biaya transportasi tinggi sementara harganya rendah. Demikian juga dengan hasil panen kopi yang masih sebatas berhasil panen, namun belum keurus secara baik dalam pengelolaan pasca-panen. “Petani itu punya pengalaman. Tinggal diperluas pengetahuannya.Kalau para dosen di kampus sering masuk desa tentu sangat berguna karena petani butuh pemikiran-pemikiran tambahan. Prinsip saya, belajar dari lahir hingga liang lahat,” ujar Nanang.

Nanang belakangan ini merasakan secara langsung manfaat kehadiran para dosen dan aktivis pemberdayaan desa di kampungnya. Sepanjang ia hidup di kampung dekat Hutan Arcamanik itu tidak pernah ada penyuluhan pertanian sayuran atau kopi. Begitu ada relawan Odesa-Indonesia yang di dalamnya ada Basuki Suhardiman (Dosen ITB/Pengusaha Kopi), Ir. Didik Harjogi M.Eng (Dosen Politeknik Negeri Bandung), Didi Sugandi (Ahli Pemetaaan Alumni ITB) dan relawan lainnya, Nanang dan warga sekampung Pondok Buahbatu merasa mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman karena pemberdayaan yang dilakukan sangat rutin.

Simak Juga:  Pemerintah Bangka Belitung Menambahkan Subsidi Pupuk !

“Bapak-bapak Dosen ITB di sini mengajari wawasan pengetahuan kopi dengan menonton film. Itu sangat berguna. Mereka juga mengajarkan pentingnya berkelompok karena untuk sukses tidak bisa sendiri. Dulu petani sulit diajak berorganisasi sekarang sudah punya organsasi. Bahkan masjid kami yang rusak lebih cepat perbaikannya karena bapak-bapak dosen itu menjarkan cara menggalang dana melalui internet,” tutur Nanang.

Selain itu nanang juga terkesan karena para dosen ITB itu tidak sekadar mengurus kopi, melainkan juga memperhatikan hal-hal yang mendasar seperti pengajian, kursus, dan ilmu pengetahuan dan mengarahkan pemakmuran Masjidnya sebagai sarana belajar warga. “Bahkan setelah nanti masjid selesai dibangun kita akan berdayakan masjid sebagai tempat pendidikan seperti kursus Bahasa Inggris, konsultasi keuangan, perpustakaan, koperasi dan lain sebagainya. Bisa juga untuk program KKN Mahasiswa.”

Penelitian dan KKN

Pada kesempatan diskusi tersebut, Indra Lubis juga sependapat agar kampus tidak menjadi Menara gading. Pasalnya saat ini banyak sekali kebutuhan pembangunan kapasitas aparatur desa dan warga dalam rangka menyukseskan pelaksanaan ABPDesa.

Indra memberi gambaran misalnya, para peneliti atau dosen bisa menjadi konsultan di desa-desa untuk bekerja sekaligus memberikan pengalaman agar aparatur desa punya kemampuan dalam mengawal program-programnya.

“Jangan kampus ini kalau melakukan penelitian jauh dari kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat di sekitar kampus. Pemikiran dan kiprah kampus sangat dibutuhkan. Misalnya contoh kecil saja soal KKN. Itu sekarang mahasiswa enggak usah mikir soal duit karena ada Dana Desa yang  bisa dipakai. Harus ada langkah yang menjembatani antara kampus dengan desa,” paparnya.

M.Yusuf