65 tahun silam Republik Indonesia (RI) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) resmi menjalin hubungan diplomatik.
Hubungan yang dijalin Indonesia dengan Tiongkok merupakan komitmen nyata kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dalam konstelasi perang dingin kala itu.
Era Soekarno menjadi tonggak penting hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok. Liu Hong, dalam China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965,mengungkap pada masa itu Tiongkok bagaikan mercusuar, penunjuk ke arah mana dan bagaimana Indonesia harus dibangun.
Model pembangunan ala Tiongkok diperbincangkan para cendekiawan. Kisah-kisah mengenai Tiongkok dimuat dalam surat-surat kabar, dan bahkan karya-karya sastra, sehingga menyentuh luas di masyarakat.
Tidak berlebihan apabila masa itu dijuluki sebagai masa bulan madu hubungan Indonesia-Tiongkok. Interaksi dan pertukaran bukan hanya terjadi di tingkat elite, melainkan juga di akar rumput.
Hubungan kedua negara terus menunjukkan perkembangan positif, dengan kehadiran Perdana Menteri Tiongkok Zhou En Lai pada Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-25 April 1955.
Dalam KAA Bandung “Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai” yang dikemukakan Tiongkok dan disponsori bersama Pemerintah India dan Myanmar, mendapat dukungan dari para peserta.
Indonesia dan Tiongkok pun sepakat untuk mempererat hubungan yang telah berjalan baik kala itu, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan serta persetujuan kerja sama kebudayaan pada 1 April 1961.
Dalam konteks hubungan luar negeri yang lebih luas, Indonesia amat penting bagi Tiongkok yang saat itu bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tiongkok, bagi Indonesia, juga tak kalah penting, apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada awal 1965.
Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam evolusi hubungan bilateral keduanya.
Namun, pada 30 Oktober 1967 kedua negara membekukan hubungan.
Berawal dari Tokyo
Lalu 22 tahun kemudian, tepatnya pada 24 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto bertemu Menteri Luar Negeri Tiongkok saat itu Qian Qichen, dalam upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo, dibahaslah kemungkinan normalisasi hubungan kedua negara yang tengah membeku.
Pembahasan dilanjutkan dalam pertemuan Menlu Ali Alatas dan Qian Qichen pada 4 Oktober 1989 di Tokyo. Hasilnya, pada 3 Juli 1990 kedua menlu menandatangani Komunike Bersama “The Resumption of The Diplomatic between The Two Countries” di Beijing, diikuti kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Indonesia sekaligus menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman Pemulihan Hubungan Diplomatik kedua negara pada 8 Agustus 1990.
Pada era Soeharto, normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok pada awal 1990-an amat bernilai bagi Tiongkok, yang saat itu tengah dikecam Barat setelah peristiwa Tiananmen.
Presiden Soeharto pun melakukan kunjungan balasan pada 14-18 November 1990, dan menyaksikan penandatanganan pembentukan Komisi Bersama Bidang Ekonomi, Perdagangan, dan Kerja Sama Teknik.
Normalisasi hubungan tersebut kemudian secara bertahap membuka hubungan ASEAN dan Tiongkok, hingga akhirnya pada 1996 Tiongkok menjadi mitra dialog penuh ASEAN.
Bagi Indonesia, dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Tiongkok menjadi sangat penting, terutama setelah negara ini dihantam badai krisis finansial Asia pada 1997.
Di lain pihak, era tersebut menjadi saksi perekonomian Tiongkok, pasca reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping pada 1978, hingga tinggal landas dengan pertumbuhan ekonomi dua digit tiap tahun.
Interaksi positif antara kedua negara pun dilanjutkan pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di masanya, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional, beragam atribut dan simbol berbau Tiongkok mulai bermunculan di Nusantara.
Gus Dur yang menetapkan Tiongkok sebagai negara tujuan pertama lawatannya ke luar negeri setelah dilantik sebagai orang nomor Indonesia, bahkan mengusulkan pembentukan poros Jakarta-Beijing-New Delhi.
“Tiongkok negara besar dengan potensi kekuatan ekonomi yang besar. Jadi, kita justru rugi jika tidak berhubungan dengan Tiongkok,” katanya, tentang kunjungannya ke Tiongkok pada 1-3 Desember 1999.
Kunjungan Presiden Wahid ke RRT tersebut menandai babak baru peningkatan hubungan antara kedua negara, ditandai kesediaan Tiongkok memberi bantuan keuangan serta fasilitas kredit termasuk kerja sama keuangan, pariwisata, dan imbal beli atau counter trade di bidang energi, yaitu menukar LNG dengan produk-produk Tiongkok.
Selanjutnya, dalam wacana publik, ikon kedekatan hubungan Indonesia-Tiongkok terpelihara melalui “diplomasi dansa” Megawati.
Di era kepemimpinan Megawati kedua sepakat membentuk forum energi yang merupakan payung investasi Tiongkok di Indonesia di bidang energi.
Mitra strategis
Beberapa capaian yang sudah dirintis tersebut kemudian dikelola lebih baik oleh Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dua periode kepemimpinannya.
Dalam periode itu, dua perjanjian penting, monumen kedekatan hubungan Indonesia-Tiongkok ditandatangani yaitu Kemitraan Strategis pada 25 April 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013.
Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya kedua negara terus meningkat.
Makin eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan Declaration of Conduct of Parties in The South China Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam “Guidelines for The Implementation of DoC” pada 2011.
Indonesia dan Tiongkok juga sepakat menandatangani protokol Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) pada 2011. Keduanya juga sepakat untuk menjadikan ASEAN sebagai the main driving force dalam pembentukan forum Pertemuan Tingkat Tinggi Asia Timur.
Tiongkok senantiasa menghargai dan mendukung setiap keputusan yang diambil ASEAN.
“Hubungan Indonesia dan Tiongkok yang telah berjalan enam dekade lebih, senantiasa mengedepankan prinsip saling menghormati, menghargai, sebagai bangsa yang setara, yang bertanggung jawab atas perdamaian dan stabilitas kawasan,” kata Presiden Tiongkok Xi Jinping, saat menerima kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Balai Agung Rakyat pada 25 Maret 2015.
Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok adalah yang paling dinamis di Asia Pasifik, katanya. Selain menyepakati delapan nota kerja sama, pada kunjungan Presiden Jokowi pada Maret silam, Indonesia dan Tiongkok terus menyinergikan ide Poros Maritim Dunia milik Indonesia dengan Jalur Sutra Maritim milik Tiongkok.
“Kita ingin memberikan makna lebih dalam sebagai mitra strategis komprehensif, dengan rangkaian kerja sama yang lebih nyata, memberikan manfaat nyata bagi kemakmuran masyarakat kedua negara,” kata Presiden Jokowi kepada mitranya Presiden Xi Jinping.
Hubungan antarwarga
Kokohnya hubungan sebuah negara dengan lainnya, tidak melulu didominasi interaksi pejabat resmi yang cenderung elitis. Meksi kebijakan luar negeri utamanya tetap menjadi domain para birokrat, publik termasuk pemegang saham utama yang dapat mempengaruhi secara signifikan, baik pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan luar negeri.
Maka interaksi antarwarga kedua bangsa akan sangat menentukan dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok. Amat penting mendorong warga kedua bangsa untuk dapat lebih saling memahami, setelah hubungan kedua negara sempat membeku selama dua dekade lebih.
“Kami ini masih Merah Putih, meski kami kini jauh dari Indonesia,” kata Huang Hui Lan, seorang warga Tionghoa yang terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya di Takengon, Aceh pada 1967, menyusul kisruh politik di Indonesia pada 1965.
Ia bersama tujuh saudaranya, sang ibu dan kakek, menumpang kapal yang dikirim Tiongkok untuk membawa para warga keturunan karena situasi politik yang kurang bersahabat di Indonesia, kembali ke tanah leluhurnya di Negeri Panda.
Wanita kelahiran 7 Juli 1950 itu, mengatakan,”saatnya kedua bangsa, kedua negara berjalan bersama menatap masa depan lebih baik. Sejarah kelam, jadikan pelajaran untuk lebih baik”.
Karena rasa cintanya kepada Indonesia, Huang Hui Lan membuat sanggar tari tradisional Indonesia di Guangzhou.
Kecintaan kepada Indonesia juga kuat melekat di hati Kenny Lai, warga keturunan Tionghoa yang juga terpaksa meninggalkan Jakarta pada 1966.
“Situasi saat itu memang tidak mudah bagi kami. Di Indonesia, kami mendapat perlakuan tidak bersahabat, saat tiba di tanah leluhur kami di Tiongkok, kami pun dicurigai, terlebih kala itu di Tiongkok juga tengah mengalami revolusi budaya,” ungkapnya.
Kini, lanjut Kenny, meski hubungan kedua negara terus mengalami peningkatan positif, tetap harus didukung hubungan antarmasyarakat kedua bangsa yang lebih baik.
Ketua China Overseas Harbin Chi Guo Qiang mengatakan masih banyak warga Tiongkok, khususnya Harbin, yang belum mengenal Indonesia.
“Hubungan kedua negara telah berjalan baik, tetapi saling pemahaman antara masyarakat kedua bangsa juga sangat penting. Cara pandang masyarakat Indonesia terhadap Tiongkok, dan sebaliknya akan sangat menentukan dinamika hubungan kedua negara, berdasar saling menghormati dan saling menguntungkan di masa depan,” katanya.