Home Uncategorized Ini penyebab kelangkaan pupuk

Ini penyebab kelangkaan pupuk

3618
SHARE

Kelangkaan pupuk yang sering diributkan akhir-akhir ini sebenarnya sudah berulang terjadi pada setiap musim tanam awal tahun. Persoalannya ternyata masih sama. Petani tidak bisa memperoleh pupuk ketika ingin menanam, padahal pupuknya sering kali ada di kios resmi, distributor, dan gudang-gudang produsen baik di lini III (kabupaten) sampai l (pabrik).

Menurut Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Budi Asikin, di Malang, Jawa Timur, isu kelangkaan terjadi karena banyak faktor. Salah satu faktor yang selalu terjadi adalah peraturan gubernur dan bupati yang menjadi dasar alokasi dan penyaluran pupuk bersubsidi datang terlambat.

“Pupuknya ada, tapi kami sebagai produsen tidak berani mendistribusikan tanpa ada dasar hukum, peraturan gubernur dan bupati tersebut,” ujar Budi.

Berdasarkan data PIHC yang menjadi industri lima BUMN pupuk dan empat BUMN pendukung, sampai Maret 2015 dari 34 provinsi sudah ada 31 gubernur yang mengeluarkan peraturan alokasi pupuk bersubsidi, dan dari 484 kabupaten, hanya 181 bupati yang sudah menerbitkan peraturan alokasi pupuk di wilayahnya.

Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 130 Tahun 2014 tertanggal 27 November 2014 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015, total pupuk bersubsidi yang harus didistribusikan mencapai 9,55 juta ton.

Pupuk bersubsidi tersebut terdiri dari urea (4,1 juta ton), NPK (2,55 juta ton), ZA (1,05 juta ton), organik (1,0 juta ton) dan SP-36 (850 ribu ton).

Jumlah alokasi pupuk tersebut, sebenarnya jauh dari permintaan yang diajukan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani di daerah yang mencapai 13,18 juta ton.

Hal itu, misalnya terjadi di Kabupaten Malang. Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sukobagyo mengatakan, alokasi pupuk bersubsidi di wilayahnya hanya sekitar 64,77 persen dari kebutuhan.

Pihaknya mengajukan kebutuhan pupuk bersubsidi sesuai RDKK sebesar 242.557 ton, untuk tanaman pangan, perkebunan dan peternakan rakyat, serta perikanan budidaya. Namun kabupaten tersebut hanya mendapat alokasi pupuk sebanyak 157.102 ton.

“Ada kekurangan pupuk sebesar 85.455 ton,” ujarnya. Untuk Januari-Pebruari 2015 saja penyerapan pupuk bersubsidi di Kabupaten Malang telah mencapai 18,8 persen dari total alokasi setahun. Beruntung ada keluwesan peraturan pemerintah, boleh merelokasi jatah pupuk dari wilayah lain atau bulan lainnya, sehingga produsen bisa menyalurkan pupuk meskipun jatah di suatu daerah sudah habis.

“Intinya sebagai produsen, kami baru akan menyalurkan pupuk bersubsidi bila ada perintah dari pemerintah baik di pusat maupun daerah,” kata Budi menegaskan. Persoalannya bukan hanya di situ.

Menurut Manager Humas PT Petrokimia Gresik (Petrogres) anak perusahaan PIHC, Yusuf Wibisono, petani juga memberi kontribusi dalam isu kelangkaan tersebut.

“Kios resmi tidak melayani pembelian pupuk oleh petani yang tidak masuk RDKK, karena setiap petani harus masuk kebutuhan pupuknya dalam RDKK,” katanya.

Hal itu juga menjadi salah satu upaya untuk menekan penyelewengan pupuk bersubsidi, karena pembeli harus terdaftar.

Yusuf juga menyebutkan hal lain yang menyebabkan kelangkaan adalah pemakaian pupuk yang berlebihan oleh petani, sehingga mempercepat jatah alokasi suatu daerah habis.

Dinas Pertanian dan Perkebunan di daerah maupun produsen merekomendasikan pemakaian pupuk dengan komposisi 5:3:2 yaitu 500 kilogram organik, 300 kilogram NPK, dan 200 kilogram urea untuk satu hektare sawah. Namun sebagian besar petani masih menggunakan pupuk di atas rekomendasi tersebut.

Padahal di Desa Sukorejo, Kabupaten Malang, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) setempat, Suwoto mengatakan dengan pemakaian pupuk 5:3:2 tersebut, para petani di desa itu bisa menghasilkan panen 7-9 ton per hektare. Jumlah tersebut diatas rata-rata produktivitas lahan padi nasional yang hanya 5,5 ton per hektare.

Di desa tersebut, ia mengaku para petani tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, karena telah memiliki pula perencanaan tanam. “Padi mulai menguning, kami langsung bermusyawarah membuat perencanaan tanam berikutnya, termasuk soal bibit apa yang dipakai, kebutuhan pupuk dan air,” katanya.

Akibatnya desa tidak pernah mengalami kelangkaan pupuk karena sudah mampu merencanakan produksi dan kebutuhan dengan tepat. “Intinya kami siap berproduksi dan mengutamakan pasokan pupuk untuk kebutuhan petani di dalam negeri untuk mendukung target pemerintah mencapai swasembada pangan,” ujar Budi menegaskan.

Untuk itu, stok pupuk bersubsidi di gudang-gudang produsen dan distributor ditingkatkan, bahkan sampai untuk mengantisipasi kebutuhan sebulan ke depan.

Selain itu untuk mendukung target tersebut, PIHC telah mempersiapkan sejumlah investasi untuk menambah kapasitas produksi pupuk di anak perusahaannya antara lain, PT Pupuk Kalimantan Timur, Petrogres, PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), dan PT Pupuk Kujang Cikampek.