Soal upah buruh yang bekerja secara harian lepas dalam kawasan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Tengah sejauh ini dinilai sangat kurang manusiawi, ini sama sekali tak sebanding bersama beban kerja mereka setiap harinya.
Semua buruh kasar yang asalnya dari wiayah Nusa Tenggara Timur dalam durasai bekerja selama 7-12 jam sehari bersama upah Rp48.000-Rp65.000 dalam setiap harinya disamping itu risiko kerja mereka juga sangat tinggi, ini diungkapkan oleh Peneliti dari Institute of Ecosoc Rights, bernama Sri Palupi, saat dia ditemui di Kantor IRSGC, Kupang.
Dalam kesempatan tersebut Sri juga menjelaskan, di penelitian Ecosoc mengenai “Perkebunan Kelapa Sawit dan Hak Asasi Manusia”, sosoknya juga menemukan ada ratusan buruh migran dari daerah NTT yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dimana saat ini kehidupan mereka dalam kenyataannya begitu memprihatinkan.
Sri mengatakan juga, semua buruh ditampung dalam sebuah barak dalam kondisi tak layak dihuni dan kesehatan mereka sama sekai juga tak dijamin, mereka kesemuanya hidup dalam kondisi pas-pasan dalam setiap harinya.
Mereka sama sekali tak mendapatkan sarana air bersih serta harus bergantung ke wilayah sungai di kawasan kebun kelapa sawit kala nampak juga tercemar.
Semua buruh dalam laporannya juga sama sekali tak mendapatkan perlindungan kerja semisal jaminan sosial serta juga jaminan kesehatan yang diberikan pihak perusahan. Mereka masih saja menjadi buruh lepas meski masa kerja mereka sudah sangat lama.
“Keselamatan semua pekerja saat ini juga terancam usai adanya kebijakan pihak perusahaan kelapa sawit dalam melepas ratusan ular kobra guna mengatasi hama dalam perkebunan itu,” terangnya.